Minggu, 15 April 2012

Masih Ada PSPD Yang Belum Memenuhi Standar

Masih banyak program studi pendidikan dokter (PSPD) di perguruan tinggi Indonesia belum memenuhi standar. Penilaian tersebut berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana pendukung, kurikulum serta staff pengajar. Akan lebih baik, apabila saat ini fokus pemerintah untuk memperbaiki institusi serta meningkatkan kualitasnya.

“Sebagai representasi resmi mahasiswa kedokteran Indonesia tingkat nasional, kami mewakili mahasiswa kedokteran mengharapkan Menteri Kesehatan tetap memberikan syarat bagi perguruan tinggi yang akan membuka program studi pendidikan dokter.” Pernyataan tersebut dikatakan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) melalui Sekretaris Jenderal ISMKI, Faqih Nur Salimi Latief.
Faqih mengatakan, bagi perguruan tinggi yang membuka program studi pendidikan dokter di fakultas lain (bukan fakultas kedokteran), akan menimbulkan banyak masalah. Hal itu terkait ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran.

Selain itu, bagi perguruan tinggi yang baru membuka program studi pendidikan dokter wajib memunyai pengajar tersertifikasi Menteri Kesehatan. Bukan hanya itu, perguruan tinggi tersebut juga harus mempersiapkan dokter konsulen sebagai tenaga pengajar. Pasalnya, syarat tersebut sangat penting agar pengajaran sesuai dengan kurikulum dokter serta pengajarannya lebih baik. “Namun yang terpenting, jangka waktu minimal sebuah persiapan fakultas kedokteran berdiri agar dapat menata administrasi dan kurikulum,” kata Faqih menegaskan.

Menurut hasil quesioner yang dilakukan oleh ISMKI 19-23 Maret lalu mengenai RUU Pendidikan Dokter, sebagian besar mahasiswa menyutujui pembukaan program studi pendidikan dokter baru. Namun, hal tersebut harus berdarsakan dengan Pasal 5 ayat1 RUU Pendidikan Dokter mengenai penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Pasal tersebut menerangkan, “perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan dapat membuka fasilitas kedokteran”.

Kamis, 05 April 2012

PAPDI Tak Menentang RUU Pendidikan Dokter

Meskipun Ikatan Dokter Indonesia menyatakan menentang RUU Pendidikan Kedokteran, namun organisasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI) tidak menyatakan keberatannya dengan RUU yang kini masih digodok di DPR tersebut.

"Kami tidak menentang RUU itu dan agak berbeda dengan pihak-pihak yang menentang," kata Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, selaku Ketua Umum PB PAPDI, saat ditemui usai acara PAPDI - Novell Research Grant, Selasa, (3/4/2012).

Aru mengatakan, pihaknya hanya meminta agar sub spesialis tetap dipertahankan dan dihargai seperti yang ada di luar negeri serta pendidikannya diformalkan. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan UU no 40/2009 tentang Rumah Sakit, pendidikan dokter subspesialis diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan tingkat tiga.

"Saya optimis akan masuk. Kalau Undang-undang dari dokter umum dan spesialis masuk, maka sub spesialis juga harus masuk. Karena nanti terkait dengan ijasah, dan izin praktek. Kalau saya seorang sub spesialis hematologi onkologi, tapi ijzah saya hanya spesialis penyakit dalam agak rancu jadinya," bebernya.

Meski begitu, Aru mengaku bahwa segala sesuatunya masih bisa berubah. Bahkan ia sudah menyiapkan rencana apabila ternyata sub spesialis tidak dimasukkan ke dalam RUU pendidikan kedokteran.

"Mudah-mudahan akan diakui sub spesialis itu. Sidang pleno yang memutuskan. Kami sudah memberikan masukan dan sekarang tinggal menunggu," katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Aru juga menanggapi soal belum meratanya penyebaran dokter di Indonesia yang selama ini masih berpusat di kota-kota besar. Menurutnya, merata tidaknya pendistribusian dokter sangat bergantung pada beberapa hal dan tidak terkait sebetulnya dengan RUU pendidikan kedokteran.

"Saya rasa ini masalah dana juga. Pemerintah daerah harus menyediakan dana untuk membayar dokternya. Mereka lebih nyaman di kota besar karena dapat mempraktekan ilmunya dengan leluasa karena ketersediaan alat," tutupnya.