Seperti yang kita
ketahui, Kamis, 14 Desember 2017
Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak uji materi pasal kitab
undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis. Dalam
pertimbangannya, hakim menyatakan ketentuan tersebut telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Adanya keputusan MK tersebut, membuat masyarakat
Indonesia dengan kacamatanya masing-masing mengambil berbagai kesimpulan. Salah
satunya adalah dilegalkannya LGBT di Indonesia. LGBT atau GLBT adalah akronim
dari "lesbian,
gay, biseksual,
dan transgender". Istilah ini
digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas
gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah
disebutkan.
Sebelumnya,
penolakan dari MK ini tercetus karena beberapa guru besar di Indonesia
mengajukan permohonan kepada MK untuk melakukan uji materi ayat 1 sampai 5
pasal 284 KUHP tentang perzinaan, pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, dan pasal
292 KUHP tentang homoseksual lantaran dianggap mengancam ketahanan keluarga.
Pastinya adanya permohonan ini juga dilandaskan karena maraknya kasus mengenai
LGBT di Indonesia. Sebagai contoh adalah Pesta seks gay di Kelapa Gading,
Jakarta Utara ; Hukum cambuk pasangan gay di Aceh; Pernikahan Gay di Bali ;
Pesta Gay di Surabaya.
Bagaimana respon masyarakat mengenai putusan MK?
Adanya putusan MK
ini memang membuat berbagai dugaan bagi masyarakat Indonesia, terutama dari
kaum LGBT itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa putusan MK mengenai penolakan
perluasan undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis
merupakan sinyal positif dari pemerintah untuk mereka bebas berhubungan sesama
jenis dengan tidak lagi mengindahkan norma asusila yang ada di masyarakat.
Tidak hanya kaum LGBT, tapi juga masyarakat lain yang pro-legalisasi LGBT juga
ikut bersorak. Dan berikut beberapa alasan yang mendasari pro-legalisasi LGBT.
Yang pertama adalah Keadilan untuk Menikah.
Menolak hak seseorang untuk menikah dengan orang yang
dicintainya akan menyebabkan terjadinya diskriminasi. Jika diteruskan dalam
waktu yang lama, maka akan timbul kesenjangan sosial yang baru.
Kedua adalah Keturunan. Mempunyai anak bukanlah satu-satunya tujuan dari
pernikahan. Jika memang hal tersebut adalah satu-satunya tujuan, maka pasangan
yang mandul atau tidak ingin punya anak juga seharusnya tidak diperbolehkan
untuk menikah. Di sisi lain, dengan tidak memiliki anak secara biologis,
pasangan gay bisa mengadopsi anak-anak yang kurang beruntung. Hal ini juga akan
menurunkan jumlah kepadatan populasi di Indonesia. Ketiga, Kecerdasan Anak. Sebuah riset yang dilakukan oleh University of
Melbourne pada tahun 2014 menunjukkan bahwa anak yang diasuh oleh pasangan gay
memiliki prestasi sekitar 6% lebih tinggi daripada anak yang diasuh
oleh pasangan heterosexual. Keempat, Kesehatan Psikologis.
Dengan melarang pernikahan sesama jenis, tingkat
penyakit psikologis pun meningkat. Menurut penelitian oleh peneliti dari UCLA,
San Francisco State University, dan the University of Massachusetts at Amherst,
pasangan gay yang tidak diperbolehkan menikah akan cenderung mengalami stres
yang lebih tinggi dibandingkan pasangan lain.
Yang terakhir adalah Agama. Institusi agama boleh menolak menikahkan pasangan gay
jika mereka mau, tetapi mereka tidak mempunyai hak untuk mendikte hukum tentang
pernikahan di masyarakat pada umumnya. Karena pada hakikatnya, negara Indonesia
bukanlah negara Agama melainkan negara yang merdeka. Oleh sebab itu, kedaulatan
tertinggi ada pada tangan rakyat.
Di sisi lain,
pemohon perluasan undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama
jenis merasa kecewa. Ia mengklaim telah mengantongi data titik-titik
penyimpangan seksual, perzinaan, hingga perselingkuhan yang banyak terjadi di
daerah.
Satu pemikiran
dengan pemohon, beberapa masyarakat yang kontra dengan legalisasi LGBT memiliki
alasan tersendiri. Beberapa alasannya adalah , pertama, Demokrasi.
Menurut mereka bebas itu boleh, asalkan jangan sampai manusia dibebaskan
untuk melakukan sesuatu yang jauh melampaui batas kemanusiaan; sesuatu yang
menyalahi kodratnya sebagai manusia, seperti LGBT. Yang kedua adalah Lingkungan yang buruk untuk tumbuh kembang anak. Seorang
anak membutuhkan seorang ibu yang ‘dekat’ secara emosional, memahami dan tahu
apa yang mereka butuhkan, termasuk nasihat yang baik. Seorang anak, terlebih
anak gadis, membutuhkan seorang ayah untuk membimbing dan melindunginya dari
aktivitas seksual dini serta kehamilan dini. Pasangan sesama jenis tidak mungkin
dapat dengan sempurna menggantikan peran ayah dan ibu karena jenis kelamin yang
sama cenderung memiliki naluri yang sama (sama-sama sebagai bapak atau ibu). Ketiga, Tingkat kesetiaan pasangan
GLBT sangat rendah. Para GLBT selalu mencari cara untuk mempertahankan
kenikmatan seksual. Mereka akan merasa menderita bila hasrat seksual mereka
tidak terpuaskan. Maka dari itu banyak dari mereka yang memiliki pasangan lebih
dari satu dalam periode yang sama. Keempat,
Tingkat kelanggengan pasangan GLBT sangt rendah. Karena ketidakpuasan
seksual, mereka mengalami depresi dan memilih untuk melimpahkannya lewat
kekerasan kepada pasangan. Tingkat kekerasan 44 kali lebih besar pada lesbian
dan 300 kali lebih besar pada gay. Terakhir
dan yang paling penting adalah Menimbulkan berbagai penyakit. Hubungan
seksual gay secara sodomi menularkan Human Papilovirus (HPV) yang dapat
menyebabkan kanker anal. Hubungan seksual gay secara oral dan berganti-ganti
pasangan dapat menyebabkan kanker mulut serta menularkan virus HIV yang
seringkali berkembang menjadi AIDS. Menurut penelitian Cancer Support
Community, wanita lesbian memiliki daya tahan lebih rendah terhadap virus,
mikroorganisme, peradangan, dan sel kanker dibanding dengan wanita normal.
Dengan demikian, wanita lesbian yang telah melakukan hubungan seksual lebih
mudah tertular dan dapat mengalami peradangan selaput otak (meningitis) hingga
kanker payudara.
Namun, apakah putusan MK benar-benar mendukung pro-legalisasi LGBT di Indonesia?
Dalam putusannya,
empat hakim yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, dan Wahidudin Adams
menyatakan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion dengan
lima hakim yang menolak uji materi tersebut.
Keempat hakim tersebut mendukung kategori zina bagi hubungan sesama
jenis (LGBT) yang dilakukan oleh sesama orang dewasa, dan mendukung perluasan
arti zina tak hanya terbatas bagi orang yang sudah menikah. Hal itu sejalan
dengan keinginan pemohon yang meminta zina dimaknai lebih luas, termasuk
meliputi hubungan badan yang dilakukan pasangan tak nikah.
Sedangkan lima
hakim menolak uji materi tersebut dimana dalam pertimbangannya, hakim menyatakan
apabila gugatan itu dikabulkan akan terjadi perubahan perbuatan pidana yang
semula delik aduan menjadi delik biasa. Perubahan delik ini dikhawatirkan akan
mengubah kualifikasi pasal 284 yang semula dikonstruksikan sebagai urusan
domestik laki-laki beristri atau perempuan bersuami, menjadi urusan negara.
Kemudian pada pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul hubungan sesama jenis
dianggap hanya memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang diduga belum
dewasa, sedangkan pada korban yang telah dewasa tidak diberikan perlindungan
hukum. Pemohon menginginkan orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis
dengan orang dewasa mestinya juga dihukum. Hal itu kembali ditolak karena
keinginan pemohon itu mengharuskan MK membuat ketentuan perundang-undangan yang
baru. Sedangkan yang berwenang membuat ketentuan perundang-undangan yang baru
adalah DPR dan presiden sebagai pembentuk UU, bukan MK. Menambah frasa atau
norma baru dinilai akan mengubah sifat melawan hukum dan hal itu tidak dapat
diterima dalam penalaran hukum. Menurut hakim, gagasan pembaruan yang diusulkan
pemohon harusnya diajukan ke pembuat UU dan menjadi masukan penting untuk
merumuskan KUHP yang baru.
Mengapa harus
melalui legalisasi untuk para penderita kelainan LGBT mendapat persamaan hukum?
Dimana kita tahu bahwa legalisasi sendiri berarti proses membuat sesuatu
menjadi legal/sah/resmi. Tujuan kita seharusnya adalah untuk menjamin persamaan
hak dan kedudukan bagi para LGBT tanpa melegalisasi hubungan &/ perkawinan
sejenis. Pada intinya, tujuan penderita LGBT menuntut legalisasi adalah untuk
mendapat persamaan di berbagai bidang kehidupan; untuk dianggap ‘setara’ dalam
masyarakat. Bila tanpa diadakan legalisasi masyarakat dapat bertoleransi dengan
penderita LGBT, LGBT tidak lagi
memerlukan legalisasi.
(ADVOM HMPD SEMAKU)
(ADVOM HMPD SEMAKU)
Di sisi lain, pemohon perluasan undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis merasa kecewa. Ia mengklaim telah mengantongi data titik-titik penyimpangan seksual, perzinaan, hingga perselingkuhan yang banyak terjadi di daerah.
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia